Wednesday, July 13, 2016

Secercah Kebenaran Di Bumi Athena

index
Pada abad ke-5 sebelum masehi, di Athena terdapat sekelompok orang yang menyatakan dirinya kaum Sofis, yaitu kaumnya orang-orang yang berilmu dan bijaksana. Mereka adalah para pengajar retorika di Athena. Kedalaman ilmu dan kemampuan mereka dalam beretorika, tidak diragukan lagi. Namun, ilmu dan kemampuan mereka dalam beretorika, hanyalah jadi alat untuk memenuhi isi perut dan mendapatkan penghormatan dari orang lain saja. Tak lebih dari itu. Bahkan hal yang lebih menyedihkan, mereka tidak menyukai filsafat (metode berfikir rasional). Bagi mereka, pencarian filosofis untuk mengetahui kebenaran secara pasti, hanyalah impian. Karena tidak ada sesuatu yang benar-benar dapat dipastikan, dan tidak ada kemampuan dalam diri manusia, untuk dapat memastikan sebuah kebenaran. Menurut mereka, kebenaran itu semacam konvensi. Kebenaran selalu diandaikan hasil konsensus dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Konsekuensi logisnya, kebenaran harus disesuaikan dengan kebutuhan atau kepentingan manusia. Kebenaran disuatu tempat, akan berbeda di tempat lain. Dan asumsi sofistik inilah yang merebak di setiap penjuru athena. Sungguh sangat mengerikan, ketika “kebenaran” hanyalah bentuk lain dari sebuah kepentingan belaka.
Di tengah masyarakat Athena yang terbius corak berfikir kaum Sofis, seseorang yang bernama Socrates merintis jalan filosofis. Suatu jalan rasional menuju kebenaran. Socrates sepertinya sedang mencari wajah kebenaran melalui rasionalisasi, bukan atas dasar kepentingan, seperti kebanyakan orang pada waktu itu. Namun, dengan cara apa Socrates mengenali wajah kebenaran melalui jalan filosofis, sementara lingkungannya (Athena), sudah terjebak dengan corak berfikir sofistik? Socrates, melancarkan proyek filosofis dengan berdiskusi(metode dialektika rasional) bersama penduduk Athena. Setiap orang Athena yang ditemuinya, senantiasa dia ajak berdiskusi mengenai kebenaran berdasarkan perspektif masing-masing individu. Dan hasil dari diskusi panjang dengan masyarakat Athena, akhirnya membawa Ia pada satu kesimpulan: “kebenaran bukan suatu konsensus, melainkan hasil dari rasionalitas. Dan pengetahuan yang tertanam dalam diri setiap individu yang akan menuntun pada jalan kebenaran”.
Kemudian Socrates pun mulai menyebarkan keyakinan akan jalan kebenaran yang Ia peroleh dari pencerahan filosofisnya. Akan tetapi, Semakin keras socrates meneriakan suara kebenaran, semakin keras pula kaum sofis mendengungkan kesesatan berfikirnya. Teriakan Socrates tentang kebenaran, layaknya ocehan bayi yang tak bermakna. Suara kebenaran yang diteriakannya, tak sedikitpun digubris oleh orang-orang Athena, dan tak sedikit pun mengubah pendirian kaum Sofis tentang kebenaran.
Akhirnya, dihadapan kaum sofis, socrates menyatakan dirinya adalah Filosof(pencinta kebijaksaan). Pernyataannya ini bukan tanpa sebab, tampaknya dia hendak mengatakan pada kaum Sofis : “ Kalian yang melibatkan diri dalam proses pengajaran pembelajaran, dan perdebatan , dengan tujuan material dan politik, tidaklah pantas menyandang gelar sebagai orang yang berilmu dan bijaksana. Karena saya yang memiliki gagasan yang lebih rasional daripada kalian, tidak merasa layak menyandang gelar sofis (orang yang berilmu dan bijaksana), dan lebih memilih sebagai seorang pencinta kebijaksanaan”. Keberanian dan ketulusan socrates dalam melawan kesesatan berifikir sofis, akhirnya harus di bayar mahal dengan mempertaruhkan nyawanya. Dia diberikan pilihan : “tetap hidup dengan meyakini apa yang dianggap benar oleh kebanyakan masyarakat, atau mati dalam keyakinannya”. Dan Socrates lebih memilih meminum racun cemara, daripada harus hidup dalam kemunafikan.(Sumber:Niki Prasetiawan)

No comments:

Post a Comment

Advertising