Wednesday, July 13, 2016

Soekarno pun Menulis Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasmar)

Salah satu yang jarang diketahui oleh masyarakat luas Indonesia adalah adanya Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasmar) 1966. Soekarno menulisnya  sepanjang satu paragraf, dan ditujukan pada Letnan Jenderal Soeharto sebagai koreksi Supersemar. Soekarno merasa, Soeharto telah kelewat batas dari apa yang diperintahkan Presiden.
Keberadaan Supertasmar ini diungkap kali pertama oleh AM Hanafi dalam buku Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998). AM Hanafi merupakan mantan Duta Besar RI untuk Kuba pada era Soekarno. Isinya tiga poin:
Pertama, mengingatkan bahwa Supersemar 1966 itu sifatnya adalah teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah surat perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS.
Kedua, Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui bidang dan tanggung jawabnya, sebab bidang politik adalah wewenang langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata.
Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya.
Kelahiran Supertasmar disebut berawal ketika Soekarno marah mendengar kabar bahwa Partai Komunis Indonesia dibubarkan oleh Soeharto. Soekarno menganggap Soeharto melampaui wewenangnya sebagai pengemban Supersemar.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan, Soekarno berusaha menyebarkan isi Supertasmar ke publik. Bahkan dikabarkan surat itu sudah diperbanyak sampai 5000 lembar. Namun, upaya itu gagal.
“Hanafi disuruh untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar. Namun, dia tidak punya jalur lagi,” tutur Asvi saat ditemui Kompas.com, Minggu (6/3/2016).
Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima Angkatan Udara, Suryadharma. Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu.
“Pers pun tidak mau memberitakan,” tutur Asvi Warman.
Mengenai hal ini, A Pambudi dalam bukunya, Supersemar Palsu menulis: Soebagio Anam, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Biro Penerangan Departemen Transmigrasi dan Koperasi, menyebut dirnya sempat membaca surat pelurusan itu pada 14 Maret 1966 siang.
Surat yang ia baca itu titipan Leimena kepada Soetjipto Joedodihardjo, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian, untuk disampaikan kepada Menpen Achmadi.
“Saya membacanya waktu itu, lalu mengetik ulang untuk disebarkan. Ternyata, orang-orang sudah tak mau membacanya lagi. Dan, media massa pun tak ada yang mau memuatnya,” kenang Soebagio Anam.
Leimena pun kembali melapor kepada Soekarno bahwa ia telah melakukan apa yang diamanatkan Soekarno padanya. Menurut Leimena, Soeharto membaca Surat Perintah Tiga Belas tersebut.
Kemudian Soeharto mengatakan bahwa semua tindakan yang dilakukan adalah tanggung jawabnya sendiri. Mendengar laporan Leimena, Soekarno terdiam.
Semua terdiam termasuk Hanafi yang juga hadir. Leimena pun menunduk melihat lantai. Hanafi memberi komentar dalam bukunya, “Menurut kamus politik, jawaban Soeharto itu artinya coup d’etat alias kudeta.” Minimal, kalimat Soeharto itu sudah dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap atasannya, Soekarno. (Diolah dari Radar Bangka dan Kompas/Gambar: kompas.com)

No comments:

Post a Comment

Advertising