Wednesday, July 13, 2016

Supersemar: Perdebatan Soal Bung Karno Ditodong Pistol

Ada sederet kontroversi seputar Supersemar. Namun, salah satu yang paling kontroversi adalah kisah dari ajudan Soekarno bernama Soekardjo Wilardjito. Setelah kejatuhan Presiden Suharto pada 1998, ia mengisahkan bahwa Sukarno saat menerima Supersemar dalam keadaan ditodong pistol FN 46 oleh Jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean yang ikut menghadap pada Bung Karno bersama tiga jenderal lain utusan Suharto.
Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Karena selama ini, diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean. Maka, setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada bulan Agustus 1998, Maraden angkat bicara. “Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong,” tutur Maraden Panggabean seperti dimuat Kompas, 28 Agustus 1998, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat dengan Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.
Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, melainkan ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta. “Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali,” ucap Maraden seperti dikutip National Geographic. “Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya,” lanjutnya. Bantahan kemudian juga disampaikan M. Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.
Kalangan sejarawan seperti Asvi Warman Adam juga mengaku tidak begitu mempercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, katanya, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar. “Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada jendral yang berani menodong Soekarno,” kata Asvi dalam wawancara dengan Kompas.com.
Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno lah yang menekan Sang Proklamator bangsa ini menandatangani Supsemar. Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan tanah air.
Namun, kalimat “mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu” menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.
“Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer,” ucap Asvi. (Dikutip dari National Geographic)

No comments:

Post a Comment

Advertising