Friday, September 23, 2011

Masjid Istiqlal

Masjid Istiqlal. Menyebut namanya saja terasa sejuk. Apalagi jika Anda mengunjungi dan shalat di sana. Sebuah komplek masjid yang berdiri di atas lahan 12 hektare. Bangunan masjidnya sendiri seluas 7 hektare, dengan luas lantai 72.000 meter persegi, dan luas atap 21.000 meter persegi. Tidak salah jika dikatakan bahwa Istiqlal adalah masjid terbesar di Asia Tenggara.

Tidak salah pula jika Masjid Istiqlal kita sebut sebagai icon negeri ini, tak ubahnya Tugu Monas dan Jembatan Semanggi. Yang membuat Istiqlal begitu spesial, itu karena sejak digagas, direncanakan, hingga dibangun, Istiqlal begitu sarat makna dan simbol.

Di antara sekian pemilik jasa atas kokoh-berdirinya Istiqlal, mustahil kita tidak menempatkan Sukarno pada posisi atas. Bukan saja karena dia Presiden yang memutuskan menyetujui pendirian Istiqlal, lebih dari itu, ia juga melandaskan pembangunan Istiqlal secara sangat filosofis, dan sangat teknis. Karena itu pula, masjid ini begitu monumental.

Dalam pemilihan lokasi, misalnya, Bung Karno terpaksa harus berbeda pendapat dengan Hatta. Bung Karno menghendaki, Istiqlal didirikan di atas taman Wilhelmina di lokasi bekas benteng Belanda Frederick Hendrik yang dibangun Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834. Lokasi itu tepatnya terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran.

Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid di Jalan Thamrin. Alasan Hatta, karena lokasi itu dikelilingi kampung. Tidak seperti lokasi taman Wilhelmina yang relatif jauh dari permukiman. Selain itu Hatta juga menganggap pembongkaran benteng Belanda memerlukan waktu yang tidak sebentar, dan dana yang tidak sedikit.

Bung Karno keukeuh pada pilihannya. Ia melandaskan pada filosofi makna “merdeka”. Istiqlal yang bisa diartikan kebebasan, atau kemerdekaan, sangat tepat jika didirikan di atas taman Wilhelmina. Sebab, Ratu Belanda Wilhelmina sebagai representasi penjajahan di bumi Indonesia, menurut Bung Karno, harus dihancurkan, dimusnahkan, dan diganti masjid bernama “kebebasan”, Istiqlal. Simbol dan pemaknaan ini yang membuat siapa pun akhirnya menyetujui sikap dan pilihan Bung Karno.

Tidak hanya itu. Lokasi yang terletak di seberang Lapangan Banteng itu, dipilih karena berdekatan dengan Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi, Kathedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia,” begitu kurang lebih Bung Karno memaknai lokasi Masjid Istiqlal.

Makna terakhir, menjadi sangat-sangat dalam, manakala Frederich Silaban, seorang arsitek Kristen kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara keluar sebagai pemenang sayembara arsitektur masjid Istiqlal, yang dewan jurinya diketuai Presiden Sukarno. Adapun anggota dewan juri lain adalah Prof.Ir. Rooseno, Ir.H. Djuanda, Prof.Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.

Masjid lima lantai, yang melambangkan kewajiban shalat umat Islam lima kali dalam satu hari, akhirnya dimulai pengerjaannya. Namun secara urutan tahun, gagasan pendirian masjid akbar di Ibukota Republik Indonesia itu mencuat tahun 1953. Setahun kemudian, 1954 didirikan Yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai Tjokroaminoto. Tahun 1955 dilangsungkan sayembara rancang bangun atau arsitektur masjid berhadiah utama uang tunai Rp 75.000 dan emas murni 75 gram, dan diikuti 27 peserta.

Setelah melalui pendalaman desain serta persiapan matang, tepat 24 Agustus 1961, bertepatan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, Presiden Ir. Soekarno yang langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik, berkenan melakukan upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Istiqlal.

Sebagai “tukang insinyur”, kita harus tahu bahwa Bung Karno ternyata memiliki suatu obsesi tersendiri terkait kekokohan bangunan masjid. Bung Karno sendiri yang melakukan pengawasan teknis pembangunan masjid sejak fase pembangunan pondasi. Kepada sejumlah orang dekat, bukan sekali-dua Bung Karno mengatakan ambisinya untuk membangun masjid yang kokoh.

“Jika Candi Borobudur yang dibangun leluhur kita untuk mengagungkan Budha bisa tahan ratusan tahun, maka saya ingin Masjid Istiqlal tidak hanya tahan ratusan tahun, tetapi ribuan tahun!” begitu tekad Bung Karno, seraya melanjutkan, “agar kelak anak-cucu kita paham, bahwa Presiden Indonesia yang pertama sangat mencintai Islam.”


Jikalau saya menerima pekerjaan menjadi Ketua daripada Panitia ini, Ketua daripada Panitia Pendirian Masjid Jami’, Masjid Istiqlal, Masjid Kemerdekaan, maka itu bukan hanya oleh karena saya cinta kepada agama Islam, tetapi ialah oleh karena saya cinta kepada Indonesia, menjunjung nama Indonesia, menjunjung nama agama Islam Saudara-saudara. Dan nama Indonesia sekarang dipancangkan pula di sini buat sekian kalinya, dengan bendera-bendera Sang Saka Merah Putih, disaksikan oleh wakil-wakil daripada negeri-negeri besar dan kecil di seluruh muka bumi.

Kita bangsa Indonesia Saudara-saudara, harus belajar menjadi satu bangsa yang besar. Membuat masjid, buatlah! Jangan kecil-kecilan. Membuat masjid, buatlah! Jangan membuat masjid yang terbuat daripada kayu dan genteng buat kota besar seperti Jakarta yang di pusat dari tanah air Indonesia, buatlah ia semegah dan bisa memberi tempat sembahyang kepada lima puluh ribu, enam puluh ribu, tujuh puluh ribu manusia. (Sambutan Bung Karno saat  penanaman tiang pancang pertama pembangunan Masjid Istiqlal, pada tahun 1961)


Suatu ketika, Bung Karno pun membangun Tugu Monumen Nasional (Monas), sebagai icon Indonesia yang lain. Proyek itu, tak urung mengundang pertanyaan orang, termasuk orang-orang dekatnya. Satu di antara mereka ada yang bertanya kepada Bung Karno, tentang skala prioritas pembangunan Monas dan Istiqlal. Apa kata Bung Karno, “Prioritaskan pembangunan Tugu Monas!”

Jawaban itu cukup mengejutkan. Hingga akhirnya ia melanjutkan kalimat, “Mengapa harus Monas yang diprioritaskan? Jika saya mati saat Monas dan Istiqlal dibangun, maka bisa saya pastikan, Istiqlal PASTI selesai. Sebab, membangun masjid adalah membangun rumah Tuhan, sehingga sekalipun saya mati ketika masjid itu belum selesai, tak satu pun yang bisa menghentikan pembangunannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Monas. Jika saya mati, belum tentu pengganti saya meneruskan pembangunannya.”

Seperti fatwa pujangga sakti, Sukarno seperti meramal nasibnya sendiri. Pembangunan masjid Istiqlal melambat tahun 1960. Setelah itu, masih banyak proyek mercu suar dibangun, hingga klimaksnya terjadi peristiwa G-30-S. Masjid yang direncanakn memakan waktu pembangunan selama 45 tahun dalam pelaksanaannya jauh lebih cepat. Bangunan utama selesai 6 tahun sejak dipancangkan tiang pertama, tepatnya 31 Agustus 1967 ditandai dengan berkumandangnya adzan maghrib yang pertama.

Saat itu, Sukarno sudah tidak lagi berkuasa. Sukarno benar, pembangunan masjid tidak jalan terus. Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal selesai dibangun dalam kurun 17 tahun. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 22 Februari 1978, oleh Presiden Soeharto. Sementara Bung Karno, seperti takdir yang telah tertulis, sudah wafat pada 21 Juni 1970

No comments:

Post a Comment

Advertising